Hujan di Bulan Desember
Setelah hampir satu tahun ku berjalan bersisian dengannya, baru ku sadari bahwa cintanya tak kan pernah untukku. Meski ia selalu bilang tak ada yang lain, namun selalu ada kehangatan yang berbeda saat mata mereka bertemu. Kehangatan yang coba ku cari saat kau tatap kedua bola mata ini. Hingga detik ini, tak pernah ku temukan. Dan kuputuskan untuk akhiri semuanya. Maaf, jika melukai semua janji kita atau mungkin hatimu juga. Kupikir tak semudah itu terlupakan semua di benaknya. Namun yang kulihat aku hanya angin yang berlalu dan tanpa jejak yang tersisa di hidupmu.
Aku terhenti menggoreskan tinta pena, saat handphone di mejaku bergetar. Aku terpaku saat ku menatap nama yang tertera disana. Sakit itu mulai nampak kurasakan lagi, kupikir setelah sekian lama kami tak pernah bertemu, semuanya akan berlalu dengan mudah. Namun sepertinya akan kembali sulit bagiku mengubris semua rasa yang ada. Aku masih saja terdiam hingga handphoneku bergetar untuk kedua kalinya. Saat itu pikiranku melayang jauh, menyusuri waktu itu.
Hariku terasa sangat menyenangkan kali ini, meski dari kemarin aku tak tidur karena sibuk dengan pentas seni di sekolah. Tak kurasakan kantuk sedikitpun saat itu, mungkin karena aku terlalu bahagia saat itu. Ya, siapa yang tak bahagia bila orang yang kau cintai berada di sampingmu saat itu, meski kau terlalu sibuk hanya untuk sekedar mengobrol dengannya.
Sejak saat itu, kulalui hari-hari indah bersamanya, walau terkadang aku terlalu tak peduli dengan kehadirannya, tapi dengan sabar ia berada di sampingku. Sepuluh bulan sudah kulalui hari-hari indahku bersamanya. Jujur ketika itu aku terlalu sibuk dengan kegiatanku sendiri, tanpa pernah kusadari segalanya tak seindah dulu.
Tepat ketika hari jadi kami yang ke sepuluh bulan, hari yang tak akan kulupa sedikitpun detailnya. Hujan rintik-rintik membasahi segalanya di sekitarku, aku berlari untuk menemuinya, karena takut ia terlalu lama menunggu. Ku susuri setiap jejak langkah di jalan setapak, kakiku terlalu berat melangkah lagi hingga tak pernah sekalipun aku sampai kesana.
Di antara hujan yang semakin deras, kulihat segalanya terlalu indah untuk mengganggu kebersamaannya. Sejak saat itu kusadari semua, tatapan yang tak pernah bisa aku temukan saat kau menatapku sepanjang hari-hari kita. Ku balikkan badan dan habiskan hari itu sendirian dengan tatapan kosong di sudut jendela kamar. Dan sejak hari itu, aku benci hari saat bulir-bulir air turun membahasi bumi.
Tanpa sadar mataku terasa basah ketika handphone yang sudah ku genggam kembali bergetar. Ku tarik napas dalam-dalam dan ku tekan tombol angkat dengan sangat ragu-ragu, lalu ku tempelkan di telinga.
“ha…halo” kataku gugup
“hai, lama aku tak mendengar lagi suaramu, bagaimana kabarnya?” katanya. Aku tersentak mendengar kalimat itu, namun ku berusaha terdengar baik-baik saja di telinganya.
“a…aku baik-baik saja, kamu?” kataku
“bagaimana menurutmu, apakah terdengar tidak baik?” katanya tertawa ringan
“sepertinya baik, semoga?” kataku, berusaha rileks. Ia hanya tertawa ringan mendengar jawabanku.
“apakah aku mengganggumu?” tanyanya
“tidak” jawabku singkat
“emmm, apakah kamu ada waktu hari ini?” tanyanya lagi
“sepertinya tidak, ada apa?” tanyaku
“aku ingin bertemu denganmu, sudah lama kita tak pernah bertemu kan?” katanya. Hatiku langsung semakin kacau saat mendengarnya.
“hei, apakah kau mendengarku?” tanyanya
“i…iya” kataku gugup
“iya apa, jadi ketemu maksudmu? Kalau gitu aku tunggu jam lima, di tempat biasa kita yah” katanya lalu memutuskan teleponnya.
“ha…halo” kataku gugup
“hai, lama aku tak mendengar lagi suaramu, bagaimana kabarnya?” katanya. Aku tersentak mendengar kalimat itu, namun ku berusaha terdengar baik-baik saja di telinganya.
“a…aku baik-baik saja, kamu?” kataku
“bagaimana menurutmu, apakah terdengar tidak baik?” katanya tertawa ringan
“sepertinya baik, semoga?” kataku, berusaha rileks. Ia hanya tertawa ringan mendengar jawabanku.
“apakah aku mengganggumu?” tanyanya
“tidak” jawabku singkat
“emmm, apakah kamu ada waktu hari ini?” tanyanya lagi
“sepertinya tidak, ada apa?” tanyaku
“aku ingin bertemu denganmu, sudah lama kita tak pernah bertemu kan?” katanya. Hatiku langsung semakin kacau saat mendengarnya.
“hei, apakah kau mendengarku?” tanyanya
“i…iya” kataku gugup
“iya apa, jadi ketemu maksudmu? Kalau gitu aku tunggu jam lima, di tempat biasa kita yah” katanya lalu memutuskan teleponnya.
“Ada apa ini, apa yang harus aku lakukan” tanyaku pada diriku sendiri. Aku sebenarnya tak ingin lagi melihatnya, tapi kenapa dia harus datang lagi, belum cukupkah semua luka yang ada. Aku masih saja termenung di sudut jendela kamar, hujan rintik-rintik mulai turun membasahi bumi. Semuanya seakan kembali terulang lagi, waktu terus berjalan tanpa kusadari sudah mendekati jam lima sore, aku tersadar saat sms masuk ke handphoneku. “hemmm, dia lagi” aku bergumam, lalu kubuka smsnya.
Ku tunggu di tempat biasa
Jangan sampai terlambat yah
Jangan sampai terlambat yah
Ku taruh handphoneku di atas buku harianku, lalu bergegas menyiapkan diri untuk menemuinya. Aku tak tahu kenapa aku menemuinya, tapi tubuh ini seakan menolak semua rasa di hati dan menemuinya. Tanpa sadar aku sudah berada di tempat itu, aku mencari-cari sosoknya tapi tak kutemukan. “apa dia sudah berubah, tanpa bisa kukenali?” pikirku. Lalu aku tersentak saat seseorang menepuk bahuku.
“maaf yah, aku sedikit terlambat” katanya tersenyum, “ayo” ajaknya sambil memegang tanganku. Aku hanya memandangi tangan kami yang berpegangan dan mengikuti langkah kakinya. Kami langsung duduk di tempat yang kosong dan aku masih diam tanpa kata.
“tanganmu dingin sekali, kau kehujanan yah?” katanya panik
“ya…yah, sedikit” kataku
“maaf yah, sini tanganmu” katanya sambil menarik tanganku, lalu mulai mengusap-usap untuk menghangatkan tanganku. Aku hanya terpaku menatapnya, terasa semakin jelas di mataku semuanya terulang kembali. Tak lama waiters mendatangi meja kami dan ia langsung memesan minuman tanpa menanyakannya padaku.
“hot chocolate dan capucinno” katanya pada waiters, Ia masih ingat minuman favoritku ketika hujan, aku makin tak bisa berkata apa-apa saat itu. “kau masih menyukainya kan?” tanyanya meyakinkan dirinya sendiri.
“i…iya” kataku masih gugup
“sepertinya kau masih kedinginan” katanya khawatir, lalu langsung memanggil waiters.
“ada apa?” tanya waiters
“tolong dipercepat yah, saya tak ingin dia semakin kedingin…” katanya
“ti…tidak apa-apa” kataku menyela.
Waiters itu langsung meninggalkan tempat kami, tak lama kemudian pesanan kami datang. Aku masih terdiam memandangi kepulan asap hot chocolate di depanku.
“ayo diminum, biar kamu tidak kedinginan” katanya
“tanganmu dingin sekali, kau kehujanan yah?” katanya panik
“ya…yah, sedikit” kataku
“maaf yah, sini tanganmu” katanya sambil menarik tanganku, lalu mulai mengusap-usap untuk menghangatkan tanganku. Aku hanya terpaku menatapnya, terasa semakin jelas di mataku semuanya terulang kembali. Tak lama waiters mendatangi meja kami dan ia langsung memesan minuman tanpa menanyakannya padaku.
“hot chocolate dan capucinno” katanya pada waiters, Ia masih ingat minuman favoritku ketika hujan, aku makin tak bisa berkata apa-apa saat itu. “kau masih menyukainya kan?” tanyanya meyakinkan dirinya sendiri.
“i…iya” kataku masih gugup
“sepertinya kau masih kedinginan” katanya khawatir, lalu langsung memanggil waiters.
“ada apa?” tanya waiters
“tolong dipercepat yah, saya tak ingin dia semakin kedingin…” katanya
“ti…tidak apa-apa” kataku menyela.
Waiters itu langsung meninggalkan tempat kami, tak lama kemudian pesanan kami datang. Aku masih terdiam memandangi kepulan asap hot chocolate di depanku.
“ayo diminum, biar kamu tidak kedinginan” katanya
Aku langsung meminumnya secara perlahan dan hati-hati. Ku alihkan pandanganku ke jendela di samping kami agar tak terlihat gugup di depannya dan merilekskan diriku sendiri.
“ternyata kamu masih tidak berubah yah, selalu menmandangi rintik-rintik hujan, sampai-sampai aku dicuekin” katanya memecah kesunyian. Aku hanya tesenyum menanggapi ucapannya.
“kau semakin cantik dengan senyuman itu, sudah lama sekali aku tak melihatnya” katanya tersenyum padaku. Aku langsung memandangi hot chocolate ku untuk menutupi kegugupanku yang semakin besar dan takut ia melihat rona merah di pipiku.
“sepertinya kamu sekarang jadi sedikit pendiam yah, atau kamu gugup karena kita baru bertemu lagi” katannya menebak sambil mencubit hidungku, “hidungmu masih saja pesek yah” katanya sambil tertawa. Tanpa sadar aku pun mulai kehilangan kegugupanku, dan kami mulai berbicara seperti dulu lagi, ya, seperti saat kami masih bersama.
“ternyata kamu masih tidak berubah yah, selalu menmandangi rintik-rintik hujan, sampai-sampai aku dicuekin” katanya memecah kesunyian. Aku hanya tesenyum menanggapi ucapannya.
“kau semakin cantik dengan senyuman itu, sudah lama sekali aku tak melihatnya” katanya tersenyum padaku. Aku langsung memandangi hot chocolate ku untuk menutupi kegugupanku yang semakin besar dan takut ia melihat rona merah di pipiku.
“sepertinya kamu sekarang jadi sedikit pendiam yah, atau kamu gugup karena kita baru bertemu lagi” katannya menebak sambil mencubit hidungku, “hidungmu masih saja pesek yah” katanya sambil tertawa. Tanpa sadar aku pun mulai kehilangan kegugupanku, dan kami mulai berbicara seperti dulu lagi, ya, seperti saat kami masih bersama.
Sejak saat itu kami lebih sering bertemu dan menghabiskan waktu bersama, hingga membuatku lupa dengan luka yang ada. “apakah semua ini hanya mimpi? kalau memang begitu apakah aku harus terbangun atau tetap terlelap?” pikirku. Handphoneku berdering saat memikirkan semuanya.
“halo” kataku
“keluarlah, aku ada di depan rumahmu” katanya
“apa? Mau apa kam…” kataku
“cepatlah, aku tak ingin di luar sendirian” katanya menyelaku
Aku langsung menemuinya di depan rumahku. “mau apa dia ke rumah?” tanyaku sendiri. Saatku membuka pintu, aku langsung berlari menghampirinya.
“kenapa gak di dalam mobil aja nunggunya? Kan gak keujanan kaya gini.” Kataku. Ia hanya tersenyum menanggapi ucapanku.
Aku langsung membuatkannya teh hangat agar ia tidak kedinginan.
“ada apa ini?” tanyaku
Ia masih menyeruput teh hangat saatku menanyakannya.
“emm, tehnya enak sekali” katanya mengalihkan pembicaraan
Aku hanya memasang muka sedikit cemberut saat mendengarnya, ia hanya tertawa kecil melihat ekspresiku.
“sekarang kamu cepetan ganti baju, soalnya kita mau pergi” katanya
“pergi? Pergi kemana? Lagipula hujan begini” kataku
“udah, gak usah banyak nanya, cepat sana ganti baju” katanya
“halo” kataku
“keluarlah, aku ada di depan rumahmu” katanya
“apa? Mau apa kam…” kataku
“cepatlah, aku tak ingin di luar sendirian” katanya menyelaku
Aku langsung menemuinya di depan rumahku. “mau apa dia ke rumah?” tanyaku sendiri. Saatku membuka pintu, aku langsung berlari menghampirinya.
“kenapa gak di dalam mobil aja nunggunya? Kan gak keujanan kaya gini.” Kataku. Ia hanya tersenyum menanggapi ucapanku.
Aku langsung membuatkannya teh hangat agar ia tidak kedinginan.
“ada apa ini?” tanyaku
Ia masih menyeruput teh hangat saatku menanyakannya.
“emm, tehnya enak sekali” katanya mengalihkan pembicaraan
Aku hanya memasang muka sedikit cemberut saat mendengarnya, ia hanya tertawa kecil melihat ekspresiku.
“sekarang kamu cepetan ganti baju, soalnya kita mau pergi” katanya
“pergi? Pergi kemana? Lagipula hujan begini” kataku
“udah, gak usah banyak nanya, cepat sana ganti baju” katanya
aku masih terdiam dalam kebingungan, sementara ia memaksaku. Aku tak tahu kami akan pergi kemana, semuanya serba mendadak dalam benakku. Di dalam mobil kami saling membisu satu sama lainnya. Aku ingin bertanya mau kemana kita, tapi enggan ku lakukan karena dia sedang sibuk dengan seseorang yang meneleponnya, hingga ia memarkirkan mobilnya. Memang, jaraknya tidak terlalu jauh dari rumahku namun aku tak tahu tempat apa ini. Kami langsung turun dari mobil, lalu ia menarik tanganku untuk mengikuti langkahnya.
“sebenarnya kita mau kemana sih?” tanyaku penasaran
“liat aja nanti” katanya sambil tersenyum.
“sebenarnya kita mau kemana sih?” tanyaku penasaran
“liat aja nanti” katanya sambil tersenyum.
Aku terus mengikuti langkahnya hingga kami berada di tepi danau. Aku terpana melihat pemandangan disana, sungguh indah di tengah senja dan rintik hujan. Tiba-tiba ia menarikku ke jembatan yang membelah danau itu, aku sedikit berlari mengikutinya.
“nah, disini pemandangannya lebih oke” katanya padaku
“yap” kataku bersemangat, “oya, sebenarnya ada apa? Kenapa kamu mengajakku kesini?” tanyaku
“se… sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan” katanya gugup
“tentang apa? Katakan saja” kataku
“apakah kamu merasa semuanya seperti dulu?” tanyanya padaku
“maksudmu?” kataku yang masih asyik memandangi senja yang memantul di riak-riak air danau.
“saat kita bersama dulu” katanya padaku.
aku langsung mengalihkan pandangan padanya, yang saat itu juga dia memandangku. Aku kembali memandangi danau dan berkata “kupikir”.
Luka itu kembali terasa dan bayangan hari itu terlintas kembali dlam benakku, sementara ia terus memandangku dan menarik tanganku.
“Keira, setelah cukup lama kita lalui lagi waktu bersama, maukah kamu kita bersama lagi? Seperti dulu” katanya padaku.
Mendengar ucapannya, membuat hatiku berdesir namun terlalu sakit dan terdiam.
“Keira…?” tanyanya.
Aku langsung menarik tanganku dalam genggamannya dan memandangi danau di bawah kami.
“apakah ini terlalu cepat?” tanyanya
“ti… tidak Alan” kataku.
Untuk pertama kalinnya aku kembali memanggil namanya lagi. Harus kuputuskan sekarang, harus kuungkap sekarang.
“lalu?” tanyanya
Ku tarik napas dalam-dalam untuk mengungkapkan segalanya dan kupegang erat kayu jembatan yang kami pijak.
“sejak hari tak pernah bisa kulepas semua tentang kita, sampai kamu datang kembali di hidupku dan saat ini kamu bilang ingin bersama kembali. Semua terasa seperti mimpi Alan, sudah lama aku menginginkannya, dan tanpa disangka semuanya benar terjadi. Tapi, itu dulu Alan, sekarang aku sudah tak menginginkannya lagi karena sudah terlalu lama ku menunggu” kataku sambil menatapnya. “Maaf, harus kuakhiri segalanya, terlalu banyak luka untuk memulainya lagi. meski ku akhirnya menemukan tatapan yang selama ini aku cari” Batinku.
“nah, disini pemandangannya lebih oke” katanya padaku
“yap” kataku bersemangat, “oya, sebenarnya ada apa? Kenapa kamu mengajakku kesini?” tanyaku
“se… sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan” katanya gugup
“tentang apa? Katakan saja” kataku
“apakah kamu merasa semuanya seperti dulu?” tanyanya padaku
“maksudmu?” kataku yang masih asyik memandangi senja yang memantul di riak-riak air danau.
“saat kita bersama dulu” katanya padaku.
aku langsung mengalihkan pandangan padanya, yang saat itu juga dia memandangku. Aku kembali memandangi danau dan berkata “kupikir”.
Luka itu kembali terasa dan bayangan hari itu terlintas kembali dlam benakku, sementara ia terus memandangku dan menarik tanganku.
“Keira, setelah cukup lama kita lalui lagi waktu bersama, maukah kamu kita bersama lagi? Seperti dulu” katanya padaku.
Mendengar ucapannya, membuat hatiku berdesir namun terlalu sakit dan terdiam.
“Keira…?” tanyanya.
Aku langsung menarik tanganku dalam genggamannya dan memandangi danau di bawah kami.
“apakah ini terlalu cepat?” tanyanya
“ti… tidak Alan” kataku.
Untuk pertama kalinnya aku kembali memanggil namanya lagi. Harus kuputuskan sekarang, harus kuungkap sekarang.
“lalu?” tanyanya
Ku tarik napas dalam-dalam untuk mengungkapkan segalanya dan kupegang erat kayu jembatan yang kami pijak.
“sejak hari tak pernah bisa kulepas semua tentang kita, sampai kamu datang kembali di hidupku dan saat ini kamu bilang ingin bersama kembali. Semua terasa seperti mimpi Alan, sudah lama aku menginginkannya, dan tanpa disangka semuanya benar terjadi. Tapi, itu dulu Alan, sekarang aku sudah tak menginginkannya lagi karena sudah terlalu lama ku menunggu” kataku sambil menatapnya. “Maaf, harus kuakhiri segalanya, terlalu banyak luka untuk memulainya lagi. meski ku akhirnya menemukan tatapan yang selama ini aku cari” Batinku.
Hari itu senja mulai ditelan malam gelap yang membias di riak-riak air danau, rintik hujan pun semakin terasa di hati kami yang membeku.
